Lampumerahnews.id
Jakarta - lampumerahnews.id. Rakyat marah. Mereka mendemo institusi biang kerok yang menyakiti rakyat. Demo makin besar dan meluas usai anggota Brimob dinilai dengan sengaja melindas pengemudi ojeg online hingga tewas.
Demo dibarengi pembakaran terjadi di Jakarta utamanya di Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat. Lalu, Mako Polda Metro Jaya. Tak ketinggalan beberapa pos Polisi pun dibakar dan halte busway pun tak luput dari pembakaran.
Tak hanya itu, dari demo pun berlanjut ke penjarahan. Seputaran toko dan mal di kawasan Senen, digasak.
Peristiwa demo disertai pembakaran dan penjarahan mengingatkan peristiwa Reformasi 1998. Terkait kondisi tersebut, Pengamat intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar berhati-hati dalam membaca dan menyikapi kondisi dalam tiga hari terakhir ini, terhitung sejak Kamis (28/8/2025) hingga hari ini, Sabtu (30/8/2025).
Menurut analisa Amir, situasi chaos tersebut di mana terjadi kericuhan dan pembakaran di sejumlah daerah, termasuk Jakarta bahkan terjadi penjarahan di kawasan Senen, Jakarta Pusat, bisa saja merupakan “jebakan Jokowi dan Geng Solo”.
Apalagi karena sebelumnya, saat HUT KAMI ke-5 di Yogyakarta pada 18 Agustus 2025, Presidium KAMI Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo telah memberikan sinyalemen sedang ada upaya sabotase dari internal Prabowo untuk menjatuhkan Sang Presiden.
Dan tak lama setelah itu, tepatnya pada 25 Agustus 2025 terjadi demo besar-besaran untuk membubarkan DPR yang berujung ricuh dan terulang pada 28 Agustus 2025.,
Demo kedua itu memantik kerusuhan dan penjarahan karena seorang pengemudi Ojol bernama Affan Kurniawan (21) dilindas Brimob dengan kendaraan taktis (Rantis) Barakuda di Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat.
Amir menganalisa, peristiwa-peristiwa ini didesain melalui sebuah cipta kondisi (cipkon) dengan melibatkan jejaring Geng Solo yang masih memegang kendali signifikan di pemerintahan, terutama kabinet dan DPR.
“Geng Solo masih mendominasi di Kabinet Merah Putih dan DPR. Sejumlah pernyataannya sering menyakiti hati rakyat. Ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari operasi cipta kondisi intelijen untuk memancing amarah masyarakat,” kata Amir di Jakarta, Sabtu (30/8/2025).
Amir menilai, apa yang sedang dimainkan memiliki kemiripan dengan skenario jatuhnya Orde Baru pada 1998 lalu. Kala itu, tekanan dari rakyat yang dipicu krisis ekonomi dan represivitas aparat menjadi titik balik keruntuhan rezim.
“Sekarang, walaupun DPR didominasi koalisi cair pendukung Prabowo, di dalamnya tetap ada dominasi Geng Solo. Ini skenario 98 yang dimodifikasi: biarkan massa masuk ke DPR, lalu gelombang tuntutan pengunduran Presiden bergulir. Ketua DPR Puan Maharani bisa saja memainkan peran kunci, berseberangan jalur politik dengan Megawati,” jelas Amir.
Amir menduga, Puan punya kalkulasi sendiri. Di satu sisi dia masih bagian dari PDI Perjuangan dan anak Megawati, akan tetapi di sisi lain posisi sebagai Ketua DPR memberinya ruang manuver lebih luas untuk membaca arah angin politik.
Salah satu indikator utama dari jebakan ini, jelas Amir, adalah peran aparat Kepolisian. Ia menyebut institusi Kepolisian di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih berada dalam lingkar pengaruh Geng Solo.
“Polisi akan bertindak represif. Setiap aksi protes rakyat berpotensi dihadapi dengan kekerasan. Semakin keras aparat bertindak, semakin besar pula potensi kemarahan rakyat. Inilah yang disebut cipta kondisi. Pada akhirnya, rakyat bukan hanya marah kepada aparat, tetapi juga kepada Presiden Prabowo yang dianggap gagal melindungi hak demokrasi,” tegasnya.
Amir meyakini, situasi ini adalah jebakan politik berlapis:
Pertama, Jebakan psikologis dengan menekan simpul – simpul sosial agar marah.
Kedua, Jebakan politik di DPR, di mana suara – suara mosi tidak percaya bisa dimunculkan.
Ketiga, Jebakan represif aparat yang justru semakin memperuncing konflik.
“Jika Prabowo tidak segera mengambil langkah tegas, ia bisa masuk ke pusaran jebakan ini. Kuncinya ada pada keberanian melakukan reposisi terhadap kabinet, reposisi di tubuh Kepolisian dan mengendalikan jalannya DPR,” ujar Amir.
Prabowo, menurut pengamat dengan basic militer dan intelijen ini, menghadapi tantangan berat. Ia harus menavigasi pemerintahan yang diwarnai infiltrasi kekuatan lama, sekaligus menjaga stabilitas publik yang mudah tersulut oleh isu-isu sosial dan ekonomi.
“Prabowo tidak boleh membiarkan dirinya diposisikan sebagai Soeharto baru. Rakyat sudah belajar dari sejarah. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut, maka jatuhnya Prabowo bukan karena oposisi, melainkan karena jebakan dari dalam, jebakan Geng Solo,” pungkas Amir.
[Sony|AT]