Lampumerahnews.id
Banda Aceh — Malam di Taman Sulthanah Safiatuddin terasa lebih hidup ketika Aceh Festival 2025 resmi dibuka oleh Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah. Sorot lampu panggung, aroma kuliner, dan denting musik tradisi menyatu dalam suasana yang memperlihatkan betapa kayanya budaya Aceh. Tahun ini, festival tak hanya tampil sebagai ruang ekspresi, tetapi juga membawa sentuhan mendalam dari tradisi khanduri yang sejak lama menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat Aceh.( 22 /11/2025)
Dalam sambutannya, Wakil Gubernur menegaskan bahwa Aceh Festival adalah ruang yang mempertemukan seniman, komunitas, UMKM, dan generasi muda. Bagi beliau, panggung budaya seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan sarana memperkuat identitas, memacu kreativitas, dan menumbuhkan ekonomi berbasis budaya. Dari pertunjukan seni lintas daerah, pasar kreatif, hingga ruang pamer komunitas, seluruh rangkaian acara seakan menegaskan bahwa budaya Aceh terus hidup dan berkembang dari masa ke masa.
Di tengah semarak itu, hadir napas lokal yang memperdalam makna festival, yakni Khanduri Raya. Unsur ini menjadi jembatan antara perayaan budaya dan tradisi religius masyarakat Aceh. Dalam adat Aceh, tradisi kenduri dikenal dengan sebutan Beureuat. Istilah beureuat sendiri berasal dari kata “beureukat” yang berarti berkah—satu penjelasan yang penting untuk dipahami generasi muda agar mereka tak hanya menikmati festival, tapi juga mengenal akar makna di balik tradisi yang diwariskan leluhur.
Kenduri Beureuat bukan sekadar acara makan bersama. Ia adalah ritual penuh syukur yang sejak lama dilakukan masyarakat Aceh, terutama pada bulan Sya’ban yang juga dikenal sebagai bulan Khanduri Bu. Di banyak gampong, masyarakat berkumpul di masjid atau meunasah, membawa idang dalam talam besar berisi nasi dan aneka lauk, lalu menyantapnya bersama tanpa memandang status. Kebersamaan inilah yang menjadi ciri khas Beureuat, sebuah tradisi yang menyatukan masyarakat dalam suasana hangat dan penuh keberkahan.
Nilai spiritualnya tetap terasa kuat meski pelaksanaan festival bertepatan dengan bulan Jumadil Awal. Tradisi beureuat yang biasanya dikenal sebagai bagian dari rangkaian ibadah pada pertengahan bulan Sya’ban tetap dihadirkan dalam bentuk nilai dan pesan kebersamaannya. Dalam konteks ini, masyarakat lebih menekankan pada zikir, doa bersama, serta ungkapan syukur yang menjadi ciri khas kenduri Aceh. Hidangan yang tersaji—mulai dari kari kambing, kuah pliek u, ayam tangkap hingga aneka kue Aceh—menjadi simbol rasa syukur masyarakat sekaligus pengingat bahwa tradisi kenduri adalah wujud ibadah sosial yang menguatkan silaturahmi, kapan pun ia digelar.
Dengan menghadirkan unsur kenduri dalam Aceh Festival, panitia seakan ingin menunjukkan bahwa budaya Aceh bukan hanya tampilan visual atau pertunjukan panggung, tetapi nilai-nilai yang berakar dari sejarah panjang masyarakatnya. Tradisi beureuat yang lahir seiring kuatnya jejak Islam di Aceh kini dipertemukan dengan kreativitas generasi muda melalui perayaan festival.
Wakil Gubernur berharap perpaduan antara tradisi dan festival modern ini mampu membangkitkan rasa bangga generasi muda terhadap warisan budaya Aceh. Dalam suasana meriah yang menyelimuti taman malam itu, Aceh Festival menjadi lebih dari sekadar pesta seni—ia adalah ruang yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, sekaligus mengajak kaula muda untuk memahami bahwa setiap tradisi, termasuk beureuat, menyimpan berkah dan pesan yang patut dijaga bersama.
(Kamalruzamal)


