LAMPUMERAHNEWS.ID
Lampumerahnews.id Jakarta –Pelayanan di instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit, khususnya RSUD dan rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan, kembali menjadi sorotan. Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) menyebut konflik antara pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan tenaga medis masih sering terjadi akibat perbedaan tafsir soal kondisi gawat darurat.(15/7/25)
Ketua Rekan Indonesia DKI Jakarta, Martha Tiana Hermawan, menyebut, sebagian besar kasus yang dilaporkan berasal dari pasien yang merasa mengalami kondisi darurat, namun ditolak klaim BPJS-nya karena rumah sakit menilai sebaliknya. Dalam banyak kasus, pasien tetap dilayani tetapi dibebani biaya pribadi.
“Pasien datang ke IGD dalam kondisi panik, berharap pertolongan cepat, tapi malah disuruh pulang atau bayar sendiri karena dianggap tidak gawat. Situasi ini terus berulang, dan BPJS Kesehatan tidak hadir untuk menyelesaikannya,” kata Martha kepada media, Senin, 14 Juli 2025.
*Regulasi Jelas, Lapangan Kabur*
Regulasi mengenai layanan kegawatdaruratan sebenarnya telah diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 dan Permenkes Nomor 47 Tahun 2018. Dalam beleid tersebut ditegaskan bahwa peserta JKN berhak mendapat layanan IGD tanpa rujukan jika mengalami kondisi yang mengancam nyawa, kesadaran, pernapasan, atau peredaran darah.
Namun di lapangan, kata Martha, pasien kerap diminta menandatangani surat pernyataan bersedia membayar karena petugas menilai kondisi tidak masuk kategori darurat. “Penilaian itu sepihak. Tidak ada transparansi atau ruang klarifikasi bagi pasien,” ujarnya.
Ia menambahkan, BPJS Kesehatan selama ini bersikap pasif. Ketika pasien komplain atau merasa dirugikan, BPJS tidak hadir sebagai mediator atau pembela hak peserta.
*Lima Titik Masalah di IGD*
Rekan Indonesia mencatat lima pola masalah yang paling sering dilaporkan masyarakat:
1. Penilaian sepihak soal kondisi gawat darurat tanpa melibatkan keluarga pasien dalam penjelasan.
2. Pasien tetap dibebani biaya pribadi meskipun datang dengan keluhan serius.
3. Minimnya transparansi soal status klaim BPJS dan alasan penolakannya.
4. Diskriminasi layanan antara pasien umum dan pasien JKN, mulai dari antrian hingga pilihan obat.
5. Surat pernyataan pembayaran diberikan dalam situasi tekanan, tanpa edukasi yang memadai.
*Evaluasi dan Seruan ke BPJS Kesehatan*
Menurut Martha, BPJS Kesehatan tidak bisa lagi berlindung di balik regulasi. Ia menilai lembaga ini gagal menjalankan peran edukatif dan pengawasan terhadap rumah sakit.
“Jangan hanya rumah sakit yang disalahkan. Yang bikin sistem, yang pegang kendali klaim, dan yang terima iuran adalah BPJS Kesehatan. Maka mereka juga harus bertanggung jawab,” kata Martha.
Rekan Indonesia mendesak agar BPJS Kesehatan:
Melakukan audit layanan IGD secara berkala,
Mengawasi sistem triase dan evaluasi keputusan status kegawatdaruratan,
Menyediakan jalur aduan dan klarifikasi bagi peserta yang merasa dirugikan,
Mengedukasi masyarakat secara masif terkait batasan layanan IGD yang ditanggung.
Martha menekankan, sistem jaminan kesehatan semestinya menjadi pelindung, bukan menjadi pintu masuk masalah baru bagi warga yang sudah sakit.
“Orang datang ke IGD untuk ditolong, bukan diadili. BPJS Kesehatan tidak boleh abai. Mereka harus hadir, bertanggung jawab, dan berpihak kepada peserta, bukan sekadar angka di dashboard klaim,” pungkasnya.