Lampumerahnews.id
ACEH TAMIANG — Dugaan penyimpangan dalam pengadaan kalender, buku agenda, dan buletin di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang terus bergulir. Meski barang akhirnya dicetak, waktu produksinya yang terlambat hingga pertengahan Oktober 2025 membuat manfaat publik dari kegiatan tersebut nyaris tidak ada. Kalender yang seharusnya digunakan sepanjang tahun hanya tersisa masa pakai dua bulan, sementara agenda dan buletin juga sudah kehilangan konteks sosialnya.
Publik menilai kondisi ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan persoalan sistemik yang melibatkan lebih dari satu pihak. Sebab, di balik lemahnya pengawasan internal lembaga, terdapat juga tanggung jawab hukum dari penyedia barang/jasa yang menjadi pelaksana kegiatan. Dalam kasus ini, pelaksana kegiatan disebut-sebut merupakan seorang pimpinan organisasi wartawan di Aceh Tamiang — posisi yang memunculkan tanda tanya serius tentang etika, integritas, dan benturan kepentingan.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, sejak awal menegaskan bahwa kasus ini harus diusut secara serius karena mengandung niat jahat yang terencana. “Karena ini merupakan kasus khusus dan sudah memenuhi unsur perbuatan berencana dengan niat jahat, maka harus diusut secara serius, harus jadi atensi,” ujarnya, seperti dikutip AJNN, Sabtu, 25 Oktober 2025.
Dari penelusuran redaksi, kontrak pengadaan kalender dan produk cetak itu sudah diteken sejak Maret 2025, namun pencetakan baru dilakukan setelah muncul sorotan publik di penghujung tahun. Pembayaran kegiatan justru telah rampung lebih dulu melalui sistem non-tunai. Sekretaris KIP Aceh Tamiang sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Achmad Yuhardha, membenarkan pembayaran tersebut dilakukan berdasarkan konfirmasi dari Ketua KIP tanpa melihat langsung hasil pekerjaan. Pengakuan ini memperkuat dugaan adanya kelalaian administratif dan pelanggaran prosedur verifikasi fisik barang.
Namun dalam logika hukum pidana korupsi, tanggung jawab tidak berhenti di pejabat pengguna anggaran. Penyedia barang/jasa yang menerima pembayaran penuh sebelum menyerahkan barang sesuai kontrak juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Dalam konteks ini, pelaksana kegiatan diduga menjadi pihak yang menikmati langsung hasil pencairan dana, sementara produk yang dijanjikan belum tersedia atau tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat.
Pihak Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang telah membenarkan bahwa perkara ini kini dalam tahap penyelidikan. Berdasarkan konfirmasi ringan yang dilakukan redaksi, kejaksaan menyebut bahwa kasus ini bukan hasil temuan internal, melainkan laporan dari masyarakat, yang kemudian ditindaklanjuti melalui penerbitan surat perintah penyelidikan (sprintlid). Penegak hukum memastikan akan menelusuri keterlibatan semua pihak, termasuk pelaksana kegiatan yang disebut dalam laporan awal.
Sementara itu, koordinator Transparency Aceh, Ahmad Sarkani menjelaskan bahwa dalam perspektif hukum keuangan negara, keberadaan barang secara fisik tidak serta-merta menghapus kerugian negara bila nilai manfaatnya telah hilang. “Barang memang ada, namun nilai manfaat publik telah habis. Prinsip dasar pengelolaan anggaran negara menegaskan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan harus memberikan _value for money_ — efisiensi, efektivitas, dan hasil guna bagi kepentingan masyarakat. Ketika barang tidak lagi relevan digunakan, maka tujuan anggaran dianggap gagal tercapai,” katanya.
Ahmad menambahkan, keadaan di mana dana sudah dibayarkan tetapi barang tidak memiliki nilai manfaat lagi bisa digolongkan sebagai total loss, atau kerugian negara total. “Ini bukan semata soal barang terlambat, tapi soal hilangnya fungsi sosial dan tujuan penggunaan anggaran. Dalam hukum keuangan negara, kerugian seperti ini bersifat menyeluruh karena negara sudah kehilangan manfaat dari uang yang dikeluarkan,” ujarnya.
Pengamat hukum pidana dari Banda Aceh yang dimintai pendapat terpisah menilai, penyedia barang yang sengaja tidak memenuhi kewajiban sesuai kontrak dapat dijerat dengan Pasal 55 KUHP jo. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, karena dianggap turut serta melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Ia menjelaskan, penyedia tidak bisa berlindung di balik alasan administratif jika terbukti menerima pembayaran penuh sebelum barang benar-benar tersedia.
Dalam konteks etika publik, kasus ini juga menyisakan ironi. Seorang yang berprofesi sebagai jurnalis sekaligus pimpinan organisasi wartawan seharusnya menjadi pihak yang menjaga transparansi dan mengontrol penggunaan uang publik, bukan terlibat dalam kegiatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Situasi ini menjadi cermin betapa pentingnya mempertegas batas profesionalitas antara dunia pers dan dunia bisnis proyek pemerintah.
Kini, publik menunggu langkah tegas dari kejaksaan. Sorotan masyarakat tidak hanya tertuju pada KIP sebagai lembaga pengguna anggaran, tetapi juga pada penyedia yang diduga menjadi pelaku utama dalam proses pengadaan yang kehilangan makna manfaat publik. Dalam penegakan hukum korupsi, barang yang ada tapi tak berguna sama nilainya dengan barang fiktif karena keduanya membuat negara tetap menanggung kerugian.
(Kamalruzamal)


