Lampumerahnews.id
Aceh Tamiang- Di tengah semangat otonomi khusus yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Aceh seharusnya tampil sebagai daerah yang paling siap mengelola kekhususan yang dimilikinya. Namun, di Kabupaten Aceh Tamiang, harapan itu belum sepenuhnya nyata.
Komisi V DPRK Aceh Tamiang yang membidangi urusan keistimewaan Aceh menilai, antara tugas dan dana belum berjalan seimbang. Landasan hukum memberi ruang luas bagi pelaksanaan keistimewaan Aceh dari penyelenggaraan kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan hingga peran ulama tetapi pelaksanaannya di lapangan masih tersendat karena keterbatasan anggaran.
Padahal, pemerintah pusat telah mengatur mekanisme dukungan melalui Permendagri Nomor 37 Tahun 2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kabupaten/Kota pada Pemerintahan Aceh. Regulasi ini menjadi dasar pembentukan sekretariat lembaga keistimewaan seperti MPD, MAA, MPU, dan Baitul Mal, yang sejatinya hadir untuk memperkuat kehidupan masyarakat sesuai nilai-nilai khas Aceh.
Namun, dalam praktiknya, lembaga-lembaga tersebut justru menghadapi persoalan klasik: minimnya perhatian dan dukungan nyata dari Pemerintah Aceh.
Ketua Komisi V DPRK Aceh Tamiang, Adlansyah, S.P dari Fraksi Partai Demokrat, menilai kondisi ini sudah di luar batas toleransi. Apalagi, daerah sedang bersiap menghadapi pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) 2026.
"Kami mencatat setidaknya sembilan dinas yang vital, yang bernaung di bawah Komisi V, berada dalam kondisi krisis anggaran. Mereka memang punya alokasi, tetapi secara programatik dan operasional, anggarannya hampir 'tidak ada' jika dibandingkan dengan beban kerja dan kebutuhan masyarakat," ujar Adlansyah.
Kondisi ini, lanjutnya, bukan hanya soal efisiensi keuangan daerah, tetapi juga menyangkut efektivitas pelaksanaan keistimewaan Aceh di level kabupaten. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga nilai dan identitas Aceh justru terjebak dalam rutinitas administratif, sementara banyak fungsi strategisnya tidak berjalan optimal.
Menurut Adlansyah, sembilan dinas yang paling terdampak dan memiliki keterbatasan anggaran tersebut meliputi:
Satpol PP dan WH, Dinas Pertanahan, Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Dinas Syariat Islam, Baitul Mal, Dinas Dayah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Keberadaan lembaga-lembaga tersebut, kata Adlansyah, semestinya menjadi motor penggerak keistimewaan Aceh. Namun, sebagian besar kini lebih banyak berjuang untuk mempertahankan biaya operasional ketimbang menjalankan fungsi utama.
"Kami minta TAPD jangan hanya fokus pada belanja seremonial. Anggaran untuk infrastruktur dasar, kebersihan, dan program sosial harus menjadi prioritas. Jika kondisi ini dibiarkan, jangan salahkan kami jika di lapangan, layanan publik terganggu dan keluhan masyarakat semakin memuncak, " tegas Adlansyah.
Pernyataan itu mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap kondisi birokrasi keistimewaan yang semakin kehilangan arah. Di tengah berbagai tantangan pembangunan, komitmen moral dan politik DPRK Aceh Tamiang menjadi penting untuk memastikan keistimewaan Aceh bukan sekadar slogan, tetapi hadir dalam bentuk pelayanan dan kesejahteraan nyata bagi masyarakat.
Menutup pernyataannya, Adlansyah memastikan bahwa pihaknya akan memperjuangkan restrukturisasi anggaran secara serius dalam pembahasan APBK mendatang.
Ketua Komisi V Bidang Keistimewaan Aceh DPRK Adlansyah.SP berkomitmen untuk memperjuangkan penambahan alokasi anggaran yang rasional dan proporsional dalam pembahasan APBK mendatang demi memastikan sembilan dinas tersebut dapat berfungsi secara optimal.
Suara Komisi V ini seolah menjadi pengingat: keistimewaan Aceh tidak akan bermakna bila hanya berhenti di tataran regulasi. Ia harus hadir dalam bentuk kebijakan yang berpihak termasuk dalam struktur anggaran yang adil dan berpihak kepada masyarakat Aceh Tamiang. **
(Kamalruzamal)