-->
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIBqT-OUa9jEiq7Y9uWvEHU21SukZMSTRfLaLx0KdplJ_yfjH-i7OPr8bce05ALbCWpWjujNUD4MVagpNnbneabAIH3qHmMkP-uGzdd_my4I7drwKvgG1F_ZM7b6R7CieebuQjCxQJ8TI3mYiVWyF-TSJ7KX9lE3xDHHZlwljYMKhxPV41s9zoOtqn0Tk/s1350/1001703115.png"

GeRAK Desak Penegak Hukum Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Kalender Fiktif di KIP Aceh Tamiang

lampumerahnews
Sabtu, 25 Oktober 2025, 22.39 WIB Last Updated 2025-10-25T15:39:51Z


Lampumerahnews.id

ACEH TAMIANG — Dugaan korupsi dalam pengadaan kalender dinding, buku agenda, dan majalah di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang tahun anggaran 2025 senilai lebih dari Rp300 juta kini menjadi sorotan publik. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai kasus ini bukan kesalahan administratif biasa, melainkan indikasi adanya niat jahat yang berpotensi menimbulkan kerugian negara total.


Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta aparat penegak hukum menaruh perhatian serius terhadap dugaan pengadaan fiktif di lingkungan KIP Aceh Tamiang.


Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, menyebut peristiwa ini telah memenuhi unsur mens rea atau niat jahat dalam perbuatan melawan hukum.


“Karena ini merupakan kasus khusus dan sudah memenuhi unsur perbuatan berencana dengan niat jahat, maka harus diusut secara serius, harus jadi atensi,” ujarnya, seperti dikutip AJNN, Sabtu, 25 Oktober 2025.


Askhalani menegaskan, penyidik tidak boleh tebang pilih hanya karena pihak yang disebut terlibat memiliki latar belakang sebagai wartawan. “Ini pidana khusus dan sudah mencoreng nama baik banyak pihak. Maka penanganannya juga harus khusus dan transparan,” katanya.


Berdasarkan laporan AJNN, proyek pengadaan kalender dan sejumlah produk cetak itu diteken pada Maret 2025, namun pencetakan baru dilakukan pada Oktober setelah muncul dugaan kegiatan fiktif. Sementara itu, pembayaran penuh telah dilakukan sejak April atau Mei, jauh sebelum barang tersedia.


Sekretaris KIP Aceh Tamiang yang juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Achmad Yuhardha, mengakui pembayaran tersebut dilakukan berdasarkan konfirmasi Ketua KIP Aceh Tamiang, Rita Afrianti.


“Pembayaran dilakukan melalui CMS non-tunai setelah saya terkonfirmasi dari Ketua KIP. Saat itu tidak mungkin saya tidak percaya, karena Ketua yang menginformasikan,” ujarnya.


Namun, Yuhardha mengaku terkejut ketika belakangan mengetahui bahwa barang-barang tersebut belum ada secara fisik pada saat pembayaran dilakukan. Ia menambahkan, pelaksana kegiatan merupakan ketua salah satu organisasi wartawan di Aceh Tamiang.


Secara hukum, kondisi di mana pembayaran telah dilakukan tanpa barang yang diterima negara bisa dikategorikan sebagai kerugian negara total (total loss). Kalaupun di akhir tahun anggaran barang akhirnya dibeli, hal itu tidak otomatis menghapus unsur perbuatan melawan hukum karena pelanggaran sudah terjadi sejak dana dicairkan.


Mengacu pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, setiap penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dan merugikan keuangan negara tergolong tindak pidana korupsi.


Sementara tindakan pejabat yang menyetujui pembayaran tanpa verifikasi fisik barang juga bisa dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP.


Dalam aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 mewajibkan pembayaran dilakukan hanya setelah adanya berita acara pemeriksaan hasil pekerjaan (BAPP). Apabila prosedur ini diabaikan, maka tanggung jawab hukum tidak hanya berada pada rekanan pelaksana, tetapi juga pada pejabat pengguna anggaran yang menyetujui transaksi tersebut.


Dari sisi etik, dugaan keterlibatan seorang pimpinan organisasi wartawan dalam proyek pengadaan lembaga publik menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi dan profesionalitas jurnalis. Kode Etik Jurnalistik menegaskan bahwa wartawan harus menghindari benturan kepentingan yang dapat memengaruhi integritas profesinya.


Kasus ini menjadi peringatan bagi kalangan pers daerah untuk menjaga jarak dari relasi ekonomi dan politik yang dapat mengaburkan peran kritis media. Independensi pers tidak hanya soal keberanian mengkritik pemerintah, tetapi juga tentang menolak keuntungan pribadi dari kedekatan dengan kekuasaan.


Bagi GeRAK, peristiwa ini mencerminkan pentingnya penegakan hukum yang transparan dan setara. “Jika dibiarkan tanpa penegakan hukum yang jelas, maka ini bukan sekadar soal Rp300 juta, tapi tentang krisis moral dan kepercayaan publik terhadap lembaga pemilu dan insan pers itu sendiri,” pungkas Askhalani.


Kini publik menunggu langkah nyata dari aparat penegak hukum untuk mengusut kasus tersebut hingga tuntas. Sebab, keadilan yang setengah hati hanya akan memperpanjang rantai ketidakpercayaan terhadap lembaga publik yang seharusnya menjadi benteng demokrasi.


 _Berita ini disusun berdasarkan informasi yang telah dipublikasikan oleh media AJNN serta hasil penelusuran dan analisis redaksi.


Seluruh penyebutan nama, jabatan, atau institusi dalam berita ini dimuat semata-mata untuk kepentingan pemberitaan publik yang bersifat faktual dan proporsional. Redaksi tidak bermaksud menuduh, menghakimi, ataupun memvonis pihak manapun.


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap pihak yang disebut dalam berita ini berhak menggunakan hak jawab atau hak koreksi dengan menghubungi redaksi melalui alamat resmi yang tertera pada portal ini.


Redaksi senantiasa berpegang pada Kode Etik Jurnalistik, serta menjunjung prinsip presisi data, keseimbangan informasi, dan itikad baik dalam setiap publikasi._ 


 (Kamalruzamal)

Komentar

Tampilkan

Terkini