Lampumerahnews.id
Jakarta - Partai politik menurut Miriam Budiardjo adalah suatu kelompok terorganisasi yang anggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang sama, serta memiliki tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional. Miriam Budiarjo juga menganggap partai politik sebagai sarana bagi warga negara untuk ikut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.
Sementara Robert Huckshom mendefinisikan partai politik sebagai sebuah kelompok otonom warga negara yang bertujuan ikut dalam perncalonan dan bersaing di pemilihan umum untuk mendapatkan kontrol atas kekuasaan pemerintahan melalui penguasaan jabatan publik dan organisasi pemerintahan.
Dari dua pemikiran tersebut, sudah sangatlah jelas bahwa partai politik tanpa terkecuali Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memiliki tujuan jangka panjang untuk memeroleh kekuasaan pemerintahan secara langsung atau tidak langsung. Hal itu diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak melanggar Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Manifestasi dari Gerakan perjuangan partai politik tersebut bermuara atau berpuncak pada pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali, baik itu pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat (DPRD) I di provinsi, pemilihan Anggota DPRD Tingkat II di kabupaten/kota, pemilihan Kepala Daerah Tingkat I atau gubernur, serta pemilihan Kepala Daerah Tingkat II atau bupati/walikota.
Sampai dengan hari ini, PSI sudah dua kali menjadi peserta perhelatan akbar bangsa Indonesia, yaitu pada Pemilu 2019 dan 2024 lalu.
Dalam Pemilu 2019, perolehan suara nasional PSI hanya mencapai 2.650.361 suara atau sekitar 1,89 persen suara sah. Sementara itu pada Pemilu 2024, partai berlogo bunga mawar dengan tangan dikepal itu mendapatkan 4.260.169 suara dari total 84 daerah pemilihan (dapil) yang tersebar di 38 provinsi dan 128 wilayah luar negeri. Dibandingkan dengan jumlah suara sah dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR 2024 yang mencapai 151.796.630 suara, berarti PSI hanya meraup 2,806 persen suara.
Berdasarkan Pasal 414 Undang-Undang (UU) Nomor (No) 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa partai politik lolos parlemen adalah yang memenuhi ambang batas parlemen, yakni miniml 4 persen suara nasional. Sebaliknya bagi partai politik peserta pemilu yang perolehan suara nasionalnya kurang dari 4 persen tidak dapat mengonversi suaranya menjadi kursi di Senayan. Dalam konteks ini, PSI yang sudah dua kali menjadi peserta pemilu telah gagal menempatkan kader-kadernya di Senayan sebagai anggota legislative.
Akankah PSI Belajar?
Lalu pertanyaannya adalah, apakah dua kali kegagalan memenuhi parliamentary threshold dapat menjadikan PSI menjadi lebih cerdas dalam melakukan atau merancang ‘strategi pergerakan’ dalam rangka mengikuti Pemilu 2029 mendatang, atau justru akan menuai kegagalan untuk yang ketiga kalinya?
Secara samar-samar kita sudah mulai mencoba menjawab dengan cara sangat berbeda dengan praksis berupa ‘Jokowi Factor’ yang akan menjadi kunci keberhasilan PSI dalam mengantarkan kader-kadernya melenggang ke Senayan pada Pemilu 2029 nanti. Lalu, beberapa dari kita juga mulai menjustifikasi jawaban tersebut dengan pernyataan Jokowi tentang ‘Partai Super Terbuka’ yang kita pahami sebagai sinyal atas kesiapan beliau untuk memimpin PSI ke depannya, khususnya dalam konteks menyongsong kontestasi politik tahun 2029.
‘Jokowi Factor’ yang sedang dibicarakan ini bisa saja benar mengingat bahwa beliau telah meninggalkan legacy yang baik selama menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) ke-7. Rakyat mengingat bahwa pembangunan, khususnya di bidang infrastrukutr pada masa kepemimpinannya sangat massif. Kemudian Tingkat kepuasan Masyarakat terhadap kepemimpinannya sampai pada akhir tahun 2024 masih tinggi. Survei Kompas yang diadakan pada bulan Juni 2024 menunjukkan angka 75.6 persen. Sementara itu, survei Indikator Politik yang dilaksanakan pada periode September 2024 berada pada angka 75 persen.
Sosok Jokowi juga memiliki lokomotif dukungan politik yang sangat solid, seperti yang ditunjukkan oleh Relawan Projo dan Jokowi Mania (Joman). Hal itu menunjukkan bahwa beliau mampu melakukan ‘samen bundling van alle krachten,’ yaitu penyatuan semua kekuatan ‘politik’ dalam bahasa Belanda, terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
2029 PSI Masuk Senayan?
Demikian, kita patut bertanya-tanya secara lebih lanjut apakah ‘Jokowi Factor’ menjadi satu-satunya pendulum terhadap lompatan jauh perolehan suara atau dukungan Masyarakat terhadap PSI, sehingga mampu melewati parliamentary threshold pada Pemilu 2029 yang akan datang?
Atas pertanyaan tersebut, saya mencoba untuk sedikit melihat ke belakang, tentunya dalam kerangka waktu yang terbatas, demi membangun kejujuran Nurani saya sebagai komponen terkecil barangkali dalam sebuah mechanism system, yaitu PSI ini.
Partai politik bernama PSI yang masih berusia muda ini diwacanakan berdiri pada akhir tahun 2014. Kemudian, partai tersebut berdiri secara resmi pada November 2014 dan mendapatkan status badan hukum setelah lolos verifikasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) pada Oktober 2016 lalu.
Pemilu 2019 sebagai ajang kontestasi politik pertama PSI yang masih berusia belia pada saat itu otomatis menjadi sebuah tantangan dalam menghadapi segala keterbatasan yang ada. Pada saat itu, upaya membangun infrastruktur partai berjalan sangat menguras tenaga, pikiran, serta dana yang sangat luar biasa. Hal itu tidak lepas dari kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dengan wilayah pemerintahan daerah yang besar pula. Di sisi lain, partai politik juga harus memenuhi syarat-syarat administratif yang diatur oleh UU No 7/2017 tentang Pemilu, di mana partai baru harus memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota dan di 50 persen dari total kecamatan sebagai syarat mengikuti pemilu. Kendati demikian, PSI dengan segala keterbatasannya mampu menarik perhatian masyarakat dan komunitas perpolitikan Indonesia. Sehingga jelang Pemilu 2019, PSI hadir dengan warga politik berbeda.
Tokoh-tokohnya mengentak peta politik Indonesia melalui momen-momen perdebatan politik dengan kalangan politikus-politikus yang sudah mapan berargumen di berbagai media. Mereka ini menjadi personifikasi kaum muda (milenial) dengan ciri-ciri khasnya berupa pemikiran yang kritis, keberanian untuk punya sikap berbeda dengan politikus-politikus mapan lainnya. Tidak lupa, memiliki wawasan kebangsaan, pertanda punya nasionalisme yang tinggi dan idealis.
Adapun keterbatasan atau ketidakpuasan generasi muda, utamanya kaum milenial terhadap kondisi politik yang koruptif dan berbiaya mahal itu seakan mendapat kanal penyalurannya di PSI. Setelah sekian kurun waktu apatis terhadap system perpolitikan, kaum milenial merasa aspirasinya terwakili kembali oleh PSI, beserta tokoh-tokoh mudanya seperti Grace Natalie, Raja Juli Antoni, Rian Ernest, Isyana Bagoes Oka, Guntur Romli, Tsamara Amany, Jeffrie Geovanie, Giring Ganesha, dan kawan-kawan. Memang tidak bisa dinafikan bahwa beberapa di antaranya meninggalkan PSI untuk mengambil jalan lainnya dalam berpolitik. Akan tetapi, kehadirannya pada saat itu tak dapat dipungkiri menjadikan PSI mampu untuk mendinamiskan perpolitikan Indonesia.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, saya melihat PSI dengan perspektif propaganda memiliki kesadaran sempurna dan kemampuan untuk menarik pemilih-pemilih mengambang, menyiasati jaringan infrastruktur partai yang pasti belum sempurna sebagai pertanda kreativitas, serta meringankan gerak mesin partai di daerah-daerah yang belum semuanya siap untuk menjaring aspirasi kaum muda dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Sebagai partai politik peserta pemilu pemula dan tidak memiliki sokongan tokoh politik besar alias bohir, PSI mampu memeroleh 2.650.361 suara atau sekitar 1,89 persen dari keseluruhan suara sah nasional pada Pemilu 2019. Saya melihat hal itu sebagai sebuah capaian maksimal, mengingat tidak semua partai politik yang dibentuk setelah Pemilu 2014 dapat mengikuti kontestasi politik atau Pemilu 2019 dan juga bukan sebagai partai buncit dalam perolehan suara sah kala itu.
Pemilu 2024 dan Kongres PSI
Dalam Pemilu 2024, PSI untuk yang kedua kalinya ikut dalam kontestasi politik, berupa pemilu di Indonesia dengan kondisi internal yang sedikit berbeda dikarenakan beberapa tokohnya mengundurkan diri menjelang Pemilu 2024 dengan berbagai sebab. Berbekal pengalaman mengikut pemilu yang sebelumnya dan setelah mendapuk Kaesang Pangarep sebagai ketua umum (ketum) partai, PSI seperti partai-partai peserta pemilu lainnya bekerja keras dengan menggunakan berbagai strategi pemenangan untuk mendulang suara minimal 4 persen, yaitu ambang batas parlemen sebagai threshold yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Didapuknya Kaesang menjadi Ketum PSI dan ikut sertanya Jokowi dalam beberapa kegiatan PSI dalam masa-masa kampanye Pemilu 2024 mempertegas relasi PSI dengan sosok Jokowi, beserta keluarganya. Dalam keadaan seperti ini, tentu saja harapannya ‘Jokowi Effect’ akan mampu membantu dalam mendongkrak perolehan suara partai. Namun, PSI nyatanya tetap tidak berhasil mendapatkan cocktail effect atau efek ekor jas secara signifikan yang diharapkan akan mampu melewati parliamentary threshold dan membawa kader-kader PSI ke Senayan. Di bawah komando Kaesang sebagai Ketum PSI, partai ini hanya mampu memeroleh 2,8 persen suara sah nasional.
Pada bulan Juli 2025 mendatang, PSI akan mengadakan kongres setelah mundur dari rencana semula, yaitu rencananya diadakan pada bulan Mei 2025. Perhelatan akbar tersebut rencananya diadakan di Solo dan sudah menjadi daya tarik sendiri bagi banyak pihak, yaitu baik dari kalangan internal partainya sendiri maupun dari luar partai dikarenakan acara yang disebut ‘Pemilihan Raya’ itu dikaitkan dengan mantan Presiden, Joko Widodo. Sinyal tersebut juga merupakan terjemahan atas pernyataan Jokowi beberapa waktu yang lalu mengenai ‘Partai Super Terbuka’ dan mekanisme pemilihan ketum partai yang seyogianya dilakukan dengan cara terbuka. Selain itu, tidak sedikit kader-kader PSI juga menerjemahkan pernyataan tersebut sebagai kesiapan Jokowi itu sendiri untuk mengikuti kontestasi yang akan datang.
Pertanyaannya, bagaimana kita harus menyikapi isu-isu yang berkembang belakangan ini. Satu hal yang pasti, siapa pun calon ketumnya dan siapa pun yang nanti akan terpilih menjadi Ketum PSI, target besarnya adalah mampu mengorganisasikan seluruh elemen partai politik untuk memenangkan Pemilu 2029. Untuk itu, saya akan menimbangnya dengan sedikit analisis sederhana yang tentu saja saya yakini akan bermanfaat untuk kepentingan partai ke depan.
Tantangan dan Harapan
Satu dasawarsa kepemimpinan Presiden Jokowi tidak dapat disangkal lagi telah membawa Indonesia menjadi satu negara dengan perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Beberapa catatan kemajuan yang patut diungkit adalah pembangunan infrastruktur yang dalam 10 tahun masa kepemimpinan Jokowi begitu masifnya dilakukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa infrastruktur telah mempermudah konektivitas dan distribusi, mobilisasi manusia, pangan, pemerataan akses energi, dan lain sebagainya.
Adapun peringkat World Competitiveness dalam satu dekade kepemimpinan Jokowi naik dari angka 34 melompat ke 27. Sementara itu, daya saing Indonesia naik 7 peringkat dalam indikator GoodStats. Indonesia saat ini berada di peringkat ke-27 dari 67 negara dalam World Competitiveness Ranking. Daya saing tersebut dinilai berdasarkan kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, serta Pembangunan serta kondisi infrastruktur/
Sementara itu, performa ekonomi Indonesia berada di peringkat ke-24 dengan skor 54,3. Hamper setara, efisiensi pemerintahan berada di peringkat ke-23 dengan 57,5. Sementara itu, skor yang paling tinggi diperoleh oleh upaya efisiensi bisnis, yaitu mencapai skor 71,4 dan berada di peringkat ke-14. Sehingga, kepuasan masyarakat terhadap Jokowi sampai akhir tahun 2024 masih rata-rata di atas 75 persen. Di sisi lain, Jokowi memiliki lokomotif yang selalu siap digerakkan. Apabila Jokowi berkesempatan memimpin PSI, maka tingkat kepuasan Masyarakat terhadap beliau dan lokomotif politiknya akan menjadi modal kekuatan partai dalam melaksanakan kerja-kerja politiknya.
Setelah berbicara kekuatannya, tentu kita juga harus menimbang-nimbang kelemahan yang bisa menjadi tantangan di kemudian hari. Kelemahan yang saya persepsikan dalam konteks ini adalah simpul-simpul organisasi yang harus mendapat penanganan atau perhatian dengan skala prioritas tertentu dan merupakan analisis atas kinerya beberapa waktu lalu. Dalam Pemilu 2024, PSI tidak dapat melangkah ke Senayan yang menurut hemat saya adalah karena mesin organisasi yang belum bekerja secara optimal. Padahal, modal besar hubungan dengan Jokowi sudah terjalin dengan diberikannya dukungan oleh sang presiden. Selain itu, hubungan tersebut semakin diperkuat dengan didapuknya Kaesasng sebagai Ketum PSI. Akan tetapi, mesin PSI belum mampu masuk lebih dalam lagi ke ceruk massa pendukung Jokowi yang sebagian besarnya merupakan masyarakat menengah ke bawah.
Kenaikkan perolehan suara pada Pemilu 2024 lebih merupakan Gambaran keberhasilan partai dengan pendekatan ‘Politik Riang Gembira ala PSI’ yang mengedepankan inklusivitas, pluralism, keterlibatan kaum Perempuan, penggunaan teknologi, dan lain-lain. Dengan gaya politik yang unik itu, PSI berupaya menjadi partai politik yang menarik bagi anak muda, tapi belum tentu dapat dipahami oleh kalangan masyarakat lainnya, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Dalam kondisi seperti ini, maka partai berlogo bunga mawar dengan tangan dikepal ini punya peluang juga. Seperti yang diketahui secara umum, Jokowi sedang tidak terafiliasi dengan salah satu partai politik tertentu. Dengan popularitasnya yang masih tinggi di tengah-tengah percaturan politik tanah air, akan sangat mungkin bagi PSI untuk akhirnya menjadi partai politik di Senayan.
Akhirnya, tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa masih ada kelompok di masyarakat yang masih menjadikan Jokowi sebagai faktor penghambat bagi dirinya. Sehingga, mereka masih secara masif menolak, mendiskreditkan segala tindakan yang dilakukan oleh Jokowi tanpa terkecuali. Apalagi, jika Jokowi benar-benar menjadi Ketum PSI. Saya meyakini bahwa tudingan-tudingan negatif akan semakin bergulir secara masif dialamatkan kepada Jokowi dan PSI; dengan isu yang akan semakin dibesar-besarkan dan dikait-kaitkan kepada suksesi kepemimpinan nasional, juga tidak menutup kemungkinan terjadi upaya penggalangan opini untuk menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama,
Ditambahkan sedikit pertimbangan dengan kesederhanaan berpikir di atas, saya mengajak seluruh jajaran dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan, beserta seluruh anggota PSI untuk menyatukan pikiran dan ‘Menentukan Sikap’ untuk menjadikan Jokowi sebagai pemimpin kita dengan segala kesiapan atas segala konsekuensi yang akan kita hadapi secara bersama-sama dalam satu barisan perjuangan memajukan partai yang semakin mampu dan berdaya dalam membela kepentingan nusa, bangsa, dan rakyat.
Penulis : Lamria Josephin Simanjuntak
Anggota DPRD DKI JAKARTA 2024 – 2029
Fraksi PARTAI SOLIDARITAS INDONESIA