Lampumerahnews.id
Aceh Tamiang - Suasana rapat Komisi III DPRK Aceh Tamiang dengan perwakilan SKK Migas Sumbagut pada Rabu, 12 November 2025, mendadak meninggi ketika pembahasan menyentuh soal kerusakan jalan yang dikaitkan dengan aktivitas operasional Pertamina di wilayah itu. Percakapan yang awalnya berjalan formal berubah tegang setelah penjelasan pihak SKK Migas dinilai terlalu kaku dan tak menyentuh substansi persoalan yang dirasakan masyarakat.
Ketegangan bermula ketika Public Relations SKK Migas, Yanin Kholisin, memaparkan bahwa pihaknya terikat pada aturan badan usaha milik negara. Ia menjelaskan bahwa SKK Migas hanya berwenang mengelola kegiatan hulu migas dan penerimaan negara. Karena itu, menurutnya, pengalihan anggaran untuk memperbaiki jalan berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. “Berdasarkan Peraturan BUMN SKK Migas hanya mengurus Pengelolaan dan Penerimaan sebagai pendapatan Negara. Jika pembangunan jalan dilakukan akan menjadi temuan BPK. Dan ini tidak dibolehkan untuk dianggarkan pelaksanaannya,” ujar Yanin.
Penjelasan itu memantik reaksi keras Ketua Komisi III, Maulizar Zikri atau Dekdan. Ia mempertanyakan bagaimana pertanggungjawaban Pertamina atas jalan yang rusak akibat mobilisasi alat berat. Menurutnya, kerusakan yang kini dialami masyarakat bukan datang tiba-tiba, melainkan dipicu aktivitas perusahaan yang melampaui daya dukung jalan. “Akibat aktivitas Pertamina yang mobilisasinya melebihi tonase badan jalan yang dilintasi angkutan alat berat Pertamina sehingga mengakibatkan kerusakan badan jalan bagaimana?” ucapnya dengan nada meninggi.
Dari penjelasan yang berkembang di ruang rapat itu, Komisi III menilai Pertamina punya kewajiban moral, bahkan tanggung jawab hukum, untuk menanggapi dampak yang ditimbulkan kegiatannya. Dekdan mengingatkan bahwa jalan yang rusak tersebut dibangun menggunakan APBN, APBA, hingga APBK, dan kini justru lebih banyak menanggung beban operasional perusahaan. “Pembangunan jalan dibiayai dana APBN, APBA dan APBK untuk kepentingan umum terutama masyarakat. Dan saat ini banyak jalan yang rusak akibat lalu lalangnya alat berat Pertamina tidak peduli. Jangan begitulah kalian, tidak sedikitpun niat untuk membantu memperbaikinya,” tambahnya.
Nada keberatan juga datang dari Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang, Saiful Bahri, yang menyoroti keberadaan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Ia menilai alasan normatif dari SKK Migas tak sejalan dengan regulasi lokal yang mengatur kewajiban perusahaan dalam memberi kontribusi sosial. “Apa Qanun ini harus kita anggap tidak ada atau harus dihapus serta digugurkan dengan aturan yang kalian maksud,” katanya.
Qanun tersebut, menurut Saiful, dibuat untuk memastikan hubungan sinergis antara pemerintah kabupaten dan pelaku usaha, termasuk dalam menjaga infrastruktur publik. Ia mempertanyakan sejauh mana Pertamina melaksanakan perencanaan dan pelaporan CSR, apalagi kerusakan jalan kian terasa oleh masyarakat. “Minyak terus disedot tapi jalan hancur,” kritiknya.
Perdebatan ini juga menyeret konteks regulasi nasional. UU BUMN mengatur bahwa perusahaan negara tidak boleh mengeluarkan belanja di luar penugasan dan struktur anggarannya. Namun di sisi lain, ketentuan tanggung jawab sosial—yang di banyak BUMN disebut sebagai PKBL atau program pengembangan masyarakat—memungkinkan perusahaan memberi kontribusi untuk dampak sosial-lingkungan, sepanjang tidak mengandung konflik dengan mekanisme audit. Di sinilah letak tarik ulurnya: apakah perbaikan jalan bisa masuk dalam kategori CSR ketika kerusakan itu timbul dari aktivitas perusahaan?
Setelah mendengar penjelasan Komisi III serta penegasan regulasi daerah, Yanin Kholisin akhirnya menunjukkan sikap lebih terbuka. Ia mengatakan akan menyampaikan persoalan ini ke pimpinan SKK Migas untuk dicari jalan keluarnya. “Perihal ini akan saya sampaikan ke SKK Migas untuk dicarikan solusinya,” ucapnya. Ia juga menyebutkan akan mendorong program pengembangan masyarakat yang memungkinkan dilaksanakan demi kepentingan warga Aceh Tamiang.
Rapat yang dihadiri Ketua DPRK Fadlon, anggota Komisi III, serta Field Manager Pertamina Rantau Tommy Wahyu Alimsyah itu berakhir tanpa keputusan final. Namun desakan agar Pertamina ikut bertanggung jawab melalui program pengembangan masyarakat masih menggantung, menunggu tindak lanjut dari SKK Migas dan Pertamina. Di luar ruang rapat, hanya satu hal yang tampak jelas: masyarakat butuh kepastian kapan jalan mereka kembali layak dilalui.
(Kamalruzamal)


