Lampumerahnews.id
Aceh Tamiang — Perjuangan warga Kampung Simpang Kanan, Kecamatan Kejuruan Muda, terus berlanjut di tengah proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 126 milik PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I), yang telah berakhir masa berlakunya pada 20 Desember 2024.
Luas areal HGU tersebut mencapai 1.080 hektare, mencakup sebagian wilayah permukiman dan fasilitas umum di Desa Simpang Kanan. Di atas tanah itulah kini berdiri dusun-dusun warga yang sudah berpuluh tahun menjadi tempat tinggal tetap.
Warga bersama Ketua Koordinator Pembebasan HGU, Karimuddin, menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk menolak keberadaan perusahaan, melainkan untuk mengembalikan hak hidup di atas tanah yang sudah menjadi pemukiman.
“Kami hanya ingin diakui secara hukum bahwa dusun kami ini benar-benar milik masyarakat,” ujar Karimuddin dalam musyawarah warga, Selasa (4/11/2025).
Situasi di lapangan dianggap ironis. Meskipun kampung itu sudah lama berdiri dan secara administratif masuk dalam data kependudukan, lahan permukiman warga masih tercatat sebagai bagian dari konsesi perusahaan.
Beberapa perumahan karyawan aktif maupun pensiunan PTPN I bahkan sudah berubah status menjadi dusun resmi, menerima alokasi Dana Desa (ADD) setiap tahun, sedangkan warga lain masih dianggap menempati lahan perusahaan.
Karimuddin mengungkapkan bahwa pihaknya telah berulang kali bersurat ke DPRK Aceh Tamiang untuk mendesak Rapat Dengar Pendapat (RDP), namun hingga kini belum ada jadwal resmi dari lembaga tersebut.
“Kami sudah kirim surat sejak lama, tapi belum ada langkah konkret. Kami berharap wakil rakyat mendengar suara masyarakat kecil, bukan hanya pihak perusahaan,” tegasnya.
Ia menambahkan, Bupati Aceh Tamiang sebelumnya menyatakan akan meninjau langsung lahan yang diminta warga untuk dikeluarkan dari HGU, tetapi jadwal itu belum juga ditentukan.
“Kalau terus ditunda, kami siap menyampaikan langsung ke Presiden,” ujar Karimuddin dengan nada tegas.
Sekretaris Transparency Aceh, Saiful Lubis, menilai perjuangan masyarakat Simpang Kanan harus menjadi perhatian serius pemerintah.
“Kasus ini menyentuh jantung keadilan agraria di Aceh. Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), hak guna usaha dapat dicabut apabila tidak digunakan sesuai kepentingannya,” jelasnya.
Saiful menekankan bahwa ketika lahan telah beralih fungsi menjadi permukiman dan fasilitas sosial, fungsi sosial tanah harus dikedepankan. “Negara wajib melindungi warganya, bukan memperpanjang izin yang justru menghapus ruang hidup rakyat,” katanya.
Secara administratif, berkas perpanjangan HGU No. 126 PTPN I kini sedang diproses oleh Kantor Wilayah BPN Aceh dan menunggu hasil pemeriksaan lapangan oleh Panitia B, sebagaimana diatur dalam Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021.
Seorang pejabat BPN Aceh Tamiang membenarkan bahwa proses evaluasi akan melibatkan pengukuran ulang dan peninjauan lapangan.
“Nanti akan dilihat, kalau di atas lahan itu ada pemukiman warga dan fasilitas umum, area tersebut bisa dikeluarkan (enclave) dari peta perpanjangan,” ujarnya.
Saiful Lubis juga menyoroti lambannya respon DPRK dan pemerintah daerah terhadap aspirasi warga.
“Keterlambatan dalam menindaklanjuti persoalan ini memperlihatkan ketimpangan keberpihakan. DPRK semestinya memfasilitasi masyarakat, bukan menunggu bola dari perusahaan,” katanya menambahkan.
Di tengah ketidakpastian hukum dan janji yang belum ditepati, warga Simpang Kanan tetap berpegang pada keyakinan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar soal tanah, tetapi soal pengakuan.
“Kami bukan menuntut lebih, kami hanya ingin tanah tempat kami berdiri kembali menjadi milik rakyat,” ujar Karimuddin menutup pertemuan malam itu.
(Kamalruzamal)


