Lampumerahnesws.id
Aceh Tamiang – Empat nama telah dinyatakan lolos seleksi administrasi calon direktur Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Tamiang untuk periode 2025–2030. Mereka adalah Muamar Khadapi, S.Pd, Husni Mubarak, S.Pd.I., M.Ag, Chairul Bahri, SE, dan Juanda, SIP. Siapa pun yang nanti terpilih akan memikul tanggung jawab besar: membawa perusahaan daerah ini keluar dari pusaran kerugian yang telah menumpuk bertahun-tahun.(10/11/2025)
Laporan keuangan PDAM Tirta Tamiang yang diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan akumulasi kerugian besar selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2020, saldo rugi tercatat sekitar Rp66,8 miliar, dan pada akhir 2021 kembali bertambah menjadi Rp67,7 miliar.
Kondisi ini terjadi sebelum perubahan status hukum perusahaan dari Perusahaan Daerah (PDAM) menjadi Perusahaan Umum Daerah (Perumda) sesuai Qanun Aceh Tamiang Nomor 6 Tahun 2020.
Perubahan status tersebut bukan sekadar pergantian nama, melainkan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Melalui qanun baru itu, PDAM resmi bertransformasi menjadi Perumda Air Minum Tirta Tamiang, sebuah entitas hukum yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah, tetapi tidak lagi berbentuk “saham”, melainkan penyertaan modal yang tidak terbagi.
Dari sisi hukum keuangan daerah, transformasi ini menimbulkan konsekuensi penting. Berdasarkan Pasal 6 Qanun No. 6/2020, kerugian Perumda dibatasi hanya sampai pada nilai penyertaan modal daerah. Artinya, bila perusahaan mengalami rugi, tanggung jawab keuangan pemerintah kabupaten berhenti pada jumlah modal yang telah disetorkan, dan tidak secara otomatis membebani APBK tahun berikutnya.
Namun, ada catatan krusial: kerugian sebelum perubahan status tetap menjadi bagian dari neraca awal Perumda, karena merupakan turunan langsung dari aset dan kewajiban PDAM lama.
Dengan kata lain, saat PDAM berubah menjadi Perumda, seluruh kekayaan dan utang — termasuk saldo rugi — ikut dialihkan menjadi kekayaan Perumda yang dipisahkan.
Secara akuntansi, saldo negatif sebesar puluhan miliar itu menjadi akumulasi defisit ekuitas di laporan awal Perumda Tirta Tamiang. Inilah yang menjelaskan mengapa laporan audit tahun 2022 masih menunjukkan posisi keuangan minus, meskipun sudah berganti badan hukum.
Perubahan status hukum memang memberikan payung hukum baru bagi pengelolaan perusahaan, namun tidak otomatis menghapus beban finansial lama.
Beban itu tetap melekat dan menjadi tanggung jawab manajemen baru untuk melakukan langkah-langkah korektif—baik melalui efisiensi, restrukturisasi utang, maupun renegosiasi penyertaan modal.
Dari sisi tata kelola, Qanun juga memperketat mekanisme akuntabilitas. Pasal 47 menegaskan masa jabatan direktur maksimal lima tahun dan harus menandatangani kontrak kinerja, yang dievaluasi langsung oleh Bupati sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM).
Setiap laporan tahunan juga wajib diaudit dan diumumkan secara terbuka kepada publik paling lambat 15 hari setelah disahkan.
Artinya, direktur baru yang kini tengah diseleksi akan memikul warisan berat: menata kembali neraca perusahaan yang telah lama berdarah merah, sekaligus memastikan transformasi hukum ini benar-benar membawa perubahan nyata di tubuh perusahaan.
Bila dikelola dengan strategi bisnis yang efisien dan transparan, Perumda Tirta Tamiang masih berpeluang keluar dari tekanan keuangan. Namun jika pola lama terus berulang, status baru ini hanya akan menjadi perubahan nama tanpa perubahan nasib.
(Kamalruzamal)


