Lampumerahnews.id
Jakarta – Dunia politik Indonesia kembali menorehkan cerita paradoksal yang sarat makna sejarah. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi melantik Jenderal (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam).
Pelantikan ini bukan sekadar pengisian kursi kabinet, melainkan sebuah ironi politik. Dua puluh tujuh tahun lalu, Djamari tercatat sebagai anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan pencopotan Prabowo dari dinas militer. Kini, justru di era kepemimpinannya sebagai Presiden RI ke-8, Prabowo mengangkat sosok yang pernah “mengadilinya” ke posisi strategis di pemerintahan.
Rekonsiliasi atau Realpolitik?
Langkah ini memunculkan dua tafsir. Bagi sebagian kalangan, penunjukan Djamari adalah bukti kedewasaan politik. Prabowo dinilai mampu melampaui luka masa lalu, menjadikan sejarah bukan sekadar penghalang, melainkan jembatan menuju kerja sama.
Namun, kritik juga mengemuka. Tak sedikit yang melihatnya sebagai bentuk realpolitik pragmatis: upaya menjaga keseimbangan kekuasaan sekaligus meredam resistensi kalangan senior militer. Publik pun bertanya—apakah ini rekonsiliasi tulus atau manuver politik demi stabilitas?
Pesan Simbolik
Terlepas dari kontroversi, pelantikan ini sarat simbolisme. Prabowo seolah ingin menegaskan bahwa politik bukanlah arena dendam, melainkan ruang adaptasi. Mengutip filosofi Jawa “nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”—menang tanpa merendahkan lawan—pengangkatan Djamari bisa dibaca sebagai kemenangan moral dan kepercayaan diri politik.
Namun, di luar simbolisme, tantangan nyata menanti. Menko Polkam memegang peran vital dalam menjaga keamanan, menegakkan hukum, serta mengoordinasikan TNI, Polri, dan lembaga intelijen.
Tantangan Berat
Sebagai Menko Polkam, Djamari harus menjembatani kepentingan lembaga keamanan yang kerap berseberangan, menghadapi isu penegakan hukum dan HAM, hingga memastikan demokrasi tetap terpelihara.
Keberhasilan atau kegagalannya akan menentukan apakah langkah ini dikenang sebagai rekonsiliasi berkelas, atau sekadar pragmatisme politik tanpa substansi.
Bab Baru Politik Indonesia
Pengangkatan Jenderal (Purn) Djamari Chaniago menandai bab baru politik Indonesia. Ia mengajarkan bahwa masa lalu bisa didamaikan, tetapi juga menguji sejauh mana rekonsiliasi simbolik bisa diterjemahkan menjadi kerja nyata.
Kini, publiklah yang menjadi hakim. Sejarah sedang mencatat: dua tokoh yang dulu dipisahkan oleh putusan DKP, kini dipertemukan kembali di meja pemerintahan. Bukan sebagai lawan, melainkan sebagai mitra dalam mengelola Republik.kipray